Minggu, 01 Oktober 2017

Otonomi Khusus Aceh, Kajian


 
UJIAN TENGAH SEMESTER ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH
KAJIAN TERHADAP DANA OTONOMI KHUSUS DAERAH ACEH :
RAKYAT MENDERITA, DANA OTONOMI KHUSUS KEMANA?
Dosen  :  Pandhu Yuanjaya S.Sos, MPA



UNY.jpg


Oleh:
Isabel Anjani
15417141035
A



PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
DANA OTONOMI KHUSUS DAERAH ACEH :
RAKYAT MENDERITA, DANA OTONOMI KHUSUS KEMANA?
Dalam perspektif yuridis Aceh memiliki sebutan yang beragam seperti Propinsi Aceh, Pemerintahan Aceh, Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Keistimewaan Provinsi Istimewa Aceh. Aceh adalah salah satu daerah yang ada di Pulau Sumatera yang menjadi daerah Otonomi Khusus.  Bagaimana Aceh dapat menjadi Daerah Otonomi Khusus? Pada saat presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno datang untuk mengunjungi Aceh pada tanggal 15 Juni 1948, Daud Beureueh meminta kepada Soekarno agar suatu saat Aceh diberikan kebebasan dalam menjalankan pemerintahannya sesuai syariat Islam. Karena permintaan tersebut pada akhirnya Soekarno pun berjanji bahwa Aceh akan diberikan hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sejalan dengan syariat Islam. Untuk membuktikan janji Soekarno tersebut maka sejumlah tokoh-tokoh Aceh pada tahun 1949 menghadap kepada Syafruddin Prawiranegara yang saat itu menjadi Wakil Perdana Menteri untuk mendesak Pemerintah Pusat agar Aceh dapat membentuk daerah yang otonom dalam mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Untuk memenuhi aspirasi masyarakat Aceh ini pada akhirnya Soekarno mengubah status Aceh menjadi Daerah Otonom Propinsi Aceh pada tanggal 29 November 1956 sesuai dengan yang tertuang pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukkan Daerah Otonomi Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukkan Propinsi Sumatera Utara yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956. Aceh memperoleh hak-hak otonomi yang luas dibidang agama, adat, dan pendidikan. Negara telah mengakui Keistimewaan dan Kekhususan daerah Aceh yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No. 62, TLN 4633) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Lalu apa sebenarnya otonomi daerah itu? Otonomi daerah menurut buku “Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia” dipahami sebagai sebuah proses devolusi dalam sektor public dimana terjadi pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata lain, dalam konteks Indonesia penelitian ini mendefinisikan otonomi daerah sebagai sebuah proses pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat Jakarta kepada baik Pemerintah Provinsi maupun kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang -Undang.
Di Aceh pemerintah telah menghadirkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai sebuah peluang untuk membangun Aceh menjadi daerah yang lebih baik dan sejahtera setelah mengalami beberapa konflik. Pemerintah memberikan kewenangan terhadap Aceh untuk membangun pola hubungan dengan Pemerintah Pusat seperti yang terkait dengan Pasal 8 di Undang-Undang Pemerintah Aceh yang memerintahkan Pemerintah Pusat untuk melakukan negosiasi dan konsultasi dengan pemerintahan Aceh terkait dengan tiga hal yaitu (1) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. (2) Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dan (3) Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.
Dalam otonomi daerah tidak hanya membahas kekhususan daerah atau keistimewaan daerah itu sendiri namun juga akan membahas permasalahan Dana Otonomi Khusus. Dana otonomi khusus sendiri adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah.
Sebagai sebuah daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus Aceh juga menerima dana alokasi yang diberikan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pendanaan pendidikan dan pengentasan kemiskinan, serta pendanaan kesehatan dan sosial (Pasal 183 ayat (1)) di Aceh yang telah dilakukan sejak tahun 2008 dan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana alokasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Provinsi Aceh ini mempunyai jangka waktu 20 tahun dimana dengan rincian bahwa tahun pertama sampai tahun kelima belas dana otonomi khusus yang dialokasikan besarnya setara dengan 2% Dana Alokasi Umum nasional. Lalu selanjutnya untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh dana otonomi khusus yang dialokasikan untuk aceh besarnya setara dengan 1% Dana Alokasi Umum nasional. Untuk operasionalisasi pengelolaan dana otonomi khusus ini diatur dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tatacara Pengelolaan Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Dana otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangatlah tidak sedikit melainkan sangat besar dan terus meningkat.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahwa dana otonomi khusus dan dana penyesuaian untuk Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dari tahun 2008 sampai dengan 2010 sebesar Rp. 10,6 triliun. Dana otonomi khusus ini adalah salah satu sumber penghasilan dan pendapatan Aceh sebagaimana disebutkan dalah pasal 179 ayat 2c (UUPA). Namun pada faktanya penyerapan dana ototnomi khusus yang diberikan masihlah rendah yaitu hanya sebesar Rp. 6,9 triliun, lalu bagaimana dengan sisa dana otonomi khusus yang tidak terserap? Apakah dana otonomi khusus yang tidak terserap ini digunakan dengan maksud dan tujuan yang tidak baik?
Menurut penelurusan yang telah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diketahui bahwa adanya penyimpangan terhadap pertanggungjawaban dan pengeolaan dana otonomi khusus tersebut dimana bahwa dana ini digunakan secara menyimpang dan tidak sesuai dengan ketentuan tujuan kebijakan otonomi khusus.
Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kecewa terhadap pemerintah Aceh karena pemanfaatan dana otonomi khusus ini masih belum mencapai hasil yang diharapkan karena banyaknya proyek otonomi khusus yang tidak tepat sasaran, tidak tepat peruntukkan, tidak tepat waktu dan pelaporannya juga tidak tepat.  Selama tiga tahun terakhir penggunaan dana otonomi khusus daerah aceh sebesar Rp. 3,5 triliun per tahun selalu bermasalah. Hal ini dikarenakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap proses pekerjaan di lapangan.
Seharusnya dengan adanya waktu yang sangat limit dan terbatas ini pemerintah harus lebih terencana untuk membiayai enam program yang telah disebutkan diparagraf atas tadi sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di Aceh maupun kota-kota dan kabupaten disekitarnya. Dalam melaksanakan suatu program pembangunan yang dilaksanakan oleh Provinsi Aceh haruslah memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan antar kota maupun kabupaten disekitar Aceh.
Lalu kemanakah dana otonomi khusus yang hilang itu? Menurut beberapa sumber ada beberapa kasus yang menguatkan bahwa dana otonomi khusus ini digunakan secara tidak baik dan penangannanya masih belum tuntas yakni dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan CT scan dan MRI Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh yang kira-kira senilai Rp. 18 Miliar, pekerjaan proyek anggaran luncuran (DPAL) 2009-2010 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh Rp. 489 miliar, korupsi pembangunan rumah dhuafa dalam APBD Aceh 2008 Rp. 200 miliar, dan proses realisasi hibah di DPKKA dalam APBD Aceh 2010 melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Dinas Kesehatan Hewan dan Dinas Pendidikan Aceh senilai Rp. 21 miliar, serta pekerjaan penanganan proyek darurat (non-bencana alam) APBD Aceh 2010 Rp. 250 miliar.
Pada dasarnya pemanfaatan dana otonomi khusus di daerah Aceh ini masih belum dirasakan oleh masyarakat setempat karena oknum-oknum pemerintah Aceh ini masih saja melakukan pemborosan yang bukan untuk memfasilitasi kesejahteraan rakyat justru lebih mementingkan pembangunan untuk pemegahan kantor dan kepentingan elit politik. Pembangunan untuk pendidikan, kesehatan dan perekonomian di Aceh pun masihlah sangat minim dan sangat jauh dari pengharapan. Contohnya seperti hasil UJian Nasional tahun 2013 dan tahun 2014 memperlihatkan bahwa jumlah kelulusan tingkat SMA/SMK/MA di Aceh merupakan peringkat terendah di tingkat Nasional.
Banyaknya kasus korupsi yang masih merajalela di daerah Aceh ini tercatat ada 141 kasus korupsi yang masih mengambang di tingkat kejaksaan, 43 kasus diantaranya sampai  pada tahap penyelidikan oleh KPK. Lalu apakah dana otonomi khusus ini masih harus diberikan kepada Aceh? Bagaimana pemerintah pusat seharusnya bertindak?. Ini adalah suatu pekerjaan berat bagi pemimpin Indonesia mengingat perjanjian yang telah dibuat antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka dan Memorandum of Understanding.
Kemungkinan bahwa dana otonomi khusus ini tidak terealisasi dengan baik adalah ketika dana ini di salurkan kepada pemerintah Provinsi sehingga kondisi di Kabupaten atau Kota masih kurang memadahi. Dana otonomi khusus yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi ini sering kali tidak tepat sasaran. Dalam kajian dana otonomi khusus ini Kabupaten maupun Kota hanya mendapatkan dalam bentuk kegiatan. Kabupaten/Kota memang dapat mengusulkan kegiatan namun keputusan proyek atau kegiatan mana yang akan di danai tetaplah keputusan dari Pemerintah Provinsi. Dalam pandangan pemerintah di Kabupaten seharusnya dana otonomi khusus ini ditransfer langsung kepada rekening Pemerintah Kabupaten agar dapat dikelola langsung oleh mereka demi untuk mensejahterakan keadaan di Kabupaten. Namun pada realitanya Pemerintah Provinsi berpendapat bahwa dana otonomi khusus sudah seharusnya dikelola oleh pemerintah provinsi karena beberapa alas an yakni pertama, otonomi khusus bagi Aceh berada di Provinsi bukan di pemerintah kabupaten kota. Kedua, bahwa otonomi di Aceh terletak di level provinsi maka dari itu sudah seharusnya jika pemerintah provinsi yang harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana otonomi khusus.
Selain itu kesenjangan yang terjadi antara pemerintah Provinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota juga disebabkan karena persepsi Pemerintah Provinsi mengenai Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak Gas dan Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, di dalam pasal 8 Qanun ini menyebutkan bahwa “ Dana Otonomi Khusus bersumber dari APBN dan merupakan penerimaan Pemerintah Aceh”. Maka dari itu pemerintah Aceh menganggap bahwa dana otonomi khusus ini hanyalah penerimaan yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh saja, tentu ini  bertentangan dengan pasal 179 ayat (2) UUPA, dimana ayat (2) dengan tegas menyebutkan sumber pendapatan daeerah baik di pemerintahan Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota salah satunya adalah dana otonomi khusus, dengan demikian dapat dikatakan, seyogyanya kedua-duanya memiliki hak dalam pengelolaan dan penggunaan dana otonomi khusus.
Seperti juga yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penyaluran Belanja Bantuan Keuangan Bagian Dana Otonomi Khusus Aceh Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2015 pasal 1 yang berbunyi “Penyaluran belanja bantuan keuangan Pemerintah Aceh kepada Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Aceh merupakan bagian dana otonomi khusus Aceh kepada Kabupaten/Kota tahun anggaran 2015”.
Maka dari itu kesalahan persepsi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi inilah yang membuat pemerintah provinsi merasa bahwa dana otonomi khusus adalah hak dari pemerintah provinsi dan harus dikelola oleh pemerintah provinsi akibat persepsi seperti inilah pengalokasian dana otonomi khusus tidak tersalur dengan baik dan bahkan menimbulkan angka korupsi pada Aceh. Pihak Inspektorat provinsi Aceh juga merasa bahwa pengalokasian dana otonomi khusus sejak tahun 2008-2010 mengalami banyak kendala dan tidak tepat sasaran. Lalu apa yang membuat Pihak Inspektorat kesulitan dalam mengatasi hal ini? Permasalahn yang dihadapi pihak inspektorat ini adalah sukarnya melakukan pengawasan secara khusus karena dana otonomi khusus juga telah bercampur dengan dana-dana yang lain.
Apa yang dapat kita rekomendasikan atas kegagalan perealisasian dana otonomi di Aceh ini? Seharusnya pemerintah provinsi Aceh lebih mementingkan pembangunan kesejahteraan masyarakat seperti pendidikan, perekonomian, dan infrastruktur dari pada pembangunan kantor yang megah.  Seharusnya juga pemerintah pusat mentransfer juga dana otonomi khusus langsung kepada Kabupaten/Kota mengingat bahwa perealisasian dari pemnerintah Provinsi masihlah sangat buruk. Kesalahan persepsi dari pemerintah provinsi juga seharusnya diperbaiki mungkin dengan sedikit merevisis eksistensi dari Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tatacara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus agar dapat mempercepat perwujudan kesejahteraan rakyat di Aceh. Untuk mengusut permasalahn dananya pun seharusnya antara dana otonomi khusus dengan dana-dana yang lain dilakukan pemisahan agar pihak inspektorat juga tidak kesulitan dalam pengawasannya.

Kesimpulan
            Aceh merupakan daerah yang ada di Indonesia yang termasuk dalam Otonomi Daerah dan menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Khusus sebagaimana telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukkan Daerah Otonomi Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukkan Propinsi Sumatera Utara yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No. 62, TLN 4633) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
            Sebagai salah satu daerah yang di khususkan Aceh juga menerima dana dari pemerintah pusat atau juga dikenal sebagai dana otonomi khusus dengan jangka waktu 20 tahun sejak tahun 2008 dan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Untuk operasionalisasi pengelolaan dana otonomi khusus ini diatur dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tatacara Pengelolaan Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahwa dana otonomi khusus dan dana penyesuaian untuk Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dari tahun 2008 sampai dengan 2010 sebesar Rp. 10,6 triliun namun dalam prakteknya tidak semua dana otonomi khusus ini yang terserap dengan baik dan hanya sekitar 65% saja. Menurut penelusuran dari Badan Pemeriksa Keuangan bahwa adanya penyimpangan terhadap pertanggungjawaban dan pengeolaan dana otonomi khusus tersebut dimana bahwa dana ini digunakan secara menyimpang dan tidak sesuai dengan ketentuan tujuan kebijakan otonomi khusus.
Selama tiga tahun terakhir penggunaan dana otonomi khusus daerah aceh sebesar Rp. 3,5 triliun per tahun selalu bermasalah. Kemungkinan bahwa dana otonomi khusus ini tidak terealisasi dengan baik adalah ketika dana ini di salurkan kepada pemerintah Provinsi sehingga kondisi di Kabupaten atau Kota masih kurang memadahi. Dana otonomi khusus yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi ini sering kali tidak tepat sasaran. Kesalahan persepsi dari pemerintah provinsi ini dikarenakan pasal 8 Qanun ini menyebutkan bahwa “ Dana Otonomi Khusus bersumber dari APBN dan merupakan penerimaan Pemerintah Aceh”. Maka dari itu pemerintah Aceh menganggap bahwa dana otonomi khusus ini hanyalah penerimaan yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh saja. Selain itu dana-dana otonomi khusus ini sangat sulit untuk di awasi penggunaannya karena dana otonomi khusus juga telah bercampur dengan dana-dana yang lain.
Maka dari itu yang dapat dilakukan adalah seharusnya pemerintah pusat mentransfer juga dana otonomi khusus langsung kepada Kabupaten/Kota mengingat bahwa perealisasian dari pemnerintah Provinsi masihlah sangat buruk. Kesalahan persepsi dari pemerintah provinsi juga seharusnya diperbaiki mungkin dengan sedikit merevisis eksistensi dari Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tatacara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus agar dapat mempercepat perwujudan kesejahteraan rakyat di Aceh. Untuk mengusut permasalahn dananya pun seharusnya antara dana otonomi khusus dengan dana-dana yang lain dilakukan pemisahan agar pihak inspektorat juga tidak kesulitan dalam pengawasannya.


DAFTAR PUSTAKA
Yudoyono, Bambang. 2001. Otonomi Daerah. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Salam, Dharma Setyawan. 2004. Otonomi Daerah: Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya. Jakarta. PT Penerbit Djambatan.
Said. Mas’ud M. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia. Malang. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Suara Pembaruan. 1995. Otonomi Daerah: Peluang dan Tantangan. Jakarta, PT Sinar Agape Press.
Huda. Ni’matul. 2014. Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI: Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan Otonomi Khusus. Bandung. Nusa Media.
Alvionita, Hesti. 2014. Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Daerah Otonom Di Indonesia. Bengkulu. (Skripsi)
Cahyono. Heru. 2016. Evaluasi Atas Pelaksanaan Otonomi Khusus Aceh: Gagal Menyejahterakan Rakyat dan Sarat Konflik Intenal. http://ejournal.lipi.go.id.  Diunduh pada tanggal 4 November 2016.
Dewan Perwakilan Rakyat. 2016. Kajian Atas Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua, Papua Barat, dan Provinsi Aceh. http://www.dpr.go.id  diunduh pada tanggal 3 November 2016.
World Bank. 2011. Kajian Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh. http://belanjapublikaceh.org diunduh pada tanggal 7 November 2016.
http://nasional.kompas.com. 9 Desember 2011, diunduh pada 8 November 2016.
http://aceh.tribunnews.com. 9 Februari 2015, diunduh pada tanggal 8 November 2016.
Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Penyaluran Belanja Bantuan Keuangan Bagian Dana Otonomi Khusus Aceh Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2015.
Qanun Acej Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar