UJIAN
TENGAH SEMESTER ADMINISTRASI PEMERINTAH DAERAH
KAJIAN TERHADAP DANA OTONOMI KHUSUS DAERAH
ACEH :
RAKYAT MENDERITA, DANA OTONOMI KHUSUS KEMANA?
Dosen
: Pandhu Yuanjaya S.Sos, MPA

Oleh:
Isabel Anjani
15417141035
A
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
DANA OTONOMI KHUSUS DAERAH ACEH :
RAKYAT
MENDERITA, DANA OTONOMI KHUSUS KEMANA?
Dalam
perspektif yuridis Aceh memiliki sebutan yang beragam seperti Propinsi Aceh,
Pemerintahan Aceh, Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Keistimewaan Provinsi Istimewa Aceh. Aceh adalah salah satu daerah yang ada
di Pulau Sumatera yang menjadi daerah Otonomi Khusus. Bagaimana Aceh dapat menjadi Daerah Otonomi
Khusus? Pada saat presiden pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno datang untuk
mengunjungi Aceh pada tanggal 15 Juni 1948, Daud Beureueh meminta kepada
Soekarno agar suatu saat Aceh diberikan kebebasan dalam menjalankan
pemerintahannya sesuai syariat Islam. Karena permintaan tersebut pada akhirnya
Soekarno pun berjanji bahwa Aceh akan diberikan hak untuk menyusun rumah
tangganya sendiri sejalan dengan syariat Islam. Untuk membuktikan janji
Soekarno tersebut maka sejumlah tokoh-tokoh Aceh pada tahun 1949 menghadap
kepada Syafruddin Prawiranegara yang saat itu menjadi Wakil Perdana Menteri
untuk mendesak Pemerintah Pusat agar Aceh dapat membentuk daerah yang otonom
dalam mengurus rumah tangga daerahnya sendiri. Untuk memenuhi aspirasi
masyarakat Aceh ini pada akhirnya Soekarno mengubah status Aceh menjadi Daerah
Otonom Propinsi Aceh pada tanggal 29 November 1956 sesuai dengan yang tertuang
pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukkan Daerah Otonomi
Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukkan Propinsi Sumatera Utara
yang diundangkan pada tanggal 7 Desember 1956. Aceh memperoleh hak-hak otonomi
yang luas dibidang agama, adat, dan pendidikan. Negara telah mengakui
Keistimewaan dan Kekhususan daerah Aceh yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No. 62,
TLN 4633) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Lalu apa
sebenarnya otonomi daerah itu? Otonomi daerah menurut buku “Arah Baru Otonomi
Daerah di Indonesia” dipahami sebagai sebuah proses devolusi dalam sektor
public dimana terjadi pengalihan wewenang dari pemerintah pusat kepada
pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata lain, dalam konteks
Indonesia penelitian ini mendefinisikan otonomi daerah sebagai sebuah proses
pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat Jakarta kepada baik Pemerintah
Provinsi maupun kabupaten/kota sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang -Undang.
Di Aceh
pemerintah telah menghadirkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai
sebuah peluang untuk membangun Aceh menjadi daerah yang lebih baik dan sejahtera
setelah mengalami beberapa konflik. Pemerintah memberikan kewenangan terhadap
Aceh untuk membangun pola hubungan dengan Pemerintah Pusat seperti yang terkait
dengan Pasal 8 di Undang-Undang Pemerintah Aceh yang memerintahkan Pemerintah
Pusat untuk melakukan negosiasi dan konsultasi dengan pemerintahan Aceh terkait
dengan tiga hal yaitu (1) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan
langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA. (2) Rencana pembentukan undang-undang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh
dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Dan (3) Kebijakan
administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang akan dibuat
oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur.
Dalam
otonomi daerah tidak hanya membahas kekhususan daerah atau keistimewaan daerah
itu sendiri namun juga akan membahas permasalahan Dana Otonomi Khusus. Dana
otonomi khusus sendiri adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai
pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah.
Sebagai
sebuah daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus Aceh juga
menerima dana alokasi yang diberikan oleh pemerintah untuk membiayai pembangunan
terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi
rakyat, pendanaan pendidikan dan pengentasan kemiskinan, serta pendanaan
kesehatan dan sosial (Pasal 183 ayat (1)) di Aceh yang telah dilakukan sejak
tahun 2008 dan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Dana alokasi yang diberikan Pemerintah Pusat kepada
Provinsi Aceh ini mempunyai jangka waktu 20 tahun dimana dengan rincian bahwa
tahun pertama sampai tahun kelima belas dana otonomi khusus yang dialokasikan
besarnya setara dengan 2% Dana Alokasi Umum nasional. Lalu selanjutnya untuk
tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh dana otonomi khusus yang
dialokasikan untuk aceh besarnya setara dengan 1% Dana Alokasi Umum nasional. Untuk
operasionalisasi pengelolaan dana otonomi khusus ini diatur dalam Qanun Aceh
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tatacara Pengelolaan Dana Bagi Hasil Migas dan
Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Dana otonomi khusus yang diberikan pemerintah
pusat kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sangatlah tidak sedikit
melainkan sangat besar dan terus meningkat.
Berdasarkan
data yang diperoleh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahwa dana
otonomi khusus dan dana penyesuaian untuk Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam
dari tahun 2008 sampai dengan 2010 sebesar Rp. 10,6 triliun. Dana otonomi
khusus ini adalah salah satu sumber penghasilan dan pendapatan Aceh sebagaimana
disebutkan dalah pasal 179 ayat 2c (UUPA). Namun pada faktanya penyerapan dana
ototnomi khusus yang diberikan masihlah rendah yaitu hanya sebesar Rp. 6,9
triliun, lalu bagaimana dengan sisa dana otonomi khusus yang tidak terserap?
Apakah dana otonomi khusus yang tidak terserap ini digunakan dengan maksud dan
tujuan yang tidak baik?
Menurut
penelurusan yang telah dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diketahui bahwa
adanya penyimpangan terhadap pertanggungjawaban dan pengeolaan dana otonomi
khusus tersebut dimana bahwa dana ini digunakan secara menyimpang dan tidak
sesuai dengan ketentuan tujuan kebijakan otonomi khusus.
Badan
Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kecewa terhadap pemerintah
Aceh karena pemanfaatan dana otonomi khusus ini masih belum mencapai hasil yang
diharapkan karena banyaknya proyek otonomi khusus yang tidak tepat sasaran,
tidak tepat peruntukkan, tidak tepat waktu dan pelaporannya juga tidak tepat. Selama tiga tahun terakhir penggunaan dana
otonomi khusus daerah aceh sebesar Rp. 3,5 triliun per tahun selalu bermasalah.
Hal ini dikarenakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,
transparansi, dan akuntabilitas dalam setiap proses pekerjaan di lapangan.
Seharusnya
dengan adanya waktu yang sangat limit dan terbatas ini pemerintah harus lebih
terencana untuk membiayai enam program yang telah disebutkan diparagraf atas
tadi sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di Aceh maupun kota-kota dan kabupaten
disekitarnya. Dalam melaksanakan suatu program pembangunan yang dilaksanakan
oleh Provinsi Aceh haruslah memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan
antar kota maupun kabupaten disekitar Aceh.
Lalu
kemanakah dana otonomi khusus yang hilang itu? Menurut beberapa sumber ada
beberapa kasus yang menguatkan bahwa dana otonomi khusus ini digunakan secara
tidak baik dan penangannanya masih belum tuntas yakni dugaan korupsi pengadaan
alat kesehatan CT scan dan MRI Rumah Sakit Zainal Abidin Banda Aceh yang
kira-kira senilai Rp. 18 Miliar, pekerjaan proyek anggaran luncuran (DPAL)
2009-2010 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh Rp. 489 miliar, korupsi
pembangunan rumah dhuafa dalam APBD Aceh 2008 Rp. 200 miliar, dan proses
realisasi hibah di DPKKA dalam APBD Aceh 2010 melalui Dinas Pertanian Tanaman
Pangan, Dinas Kesehatan Hewan dan Dinas Pendidikan Aceh senilai Rp. 21 miliar,
serta pekerjaan penanganan proyek darurat (non-bencana alam) APBD Aceh 2010 Rp.
250 miliar.
Pada
dasarnya pemanfaatan dana otonomi khusus di daerah Aceh ini masih belum
dirasakan oleh masyarakat setempat karena oknum-oknum pemerintah Aceh ini masih
saja melakukan pemborosan yang bukan untuk memfasilitasi kesejahteraan rakyat
justru lebih mementingkan pembangunan untuk pemegahan kantor dan kepentingan
elit politik. Pembangunan untuk pendidikan, kesehatan dan perekonomian di Aceh
pun masihlah sangat minim dan sangat jauh dari pengharapan. Contohnya seperti
hasil UJian Nasional tahun 2013 dan tahun 2014 memperlihatkan bahwa jumlah
kelulusan tingkat SMA/SMK/MA di Aceh merupakan peringkat terendah di tingkat
Nasional.
Banyaknya
kasus korupsi yang masih merajalela di daerah Aceh ini tercatat ada 141 kasus
korupsi yang masih mengambang di tingkat kejaksaan, 43 kasus diantaranya
sampai pada tahap penyelidikan oleh KPK.
Lalu apakah dana otonomi khusus ini masih harus diberikan kepada Aceh?
Bagaimana pemerintah pusat seharusnya bertindak?. Ini adalah suatu pekerjaan
berat bagi pemimpin Indonesia mengingat perjanjian yang telah dibuat antara
Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka dan Memorandum of
Understanding.
Kemungkinan
bahwa dana otonomi khusus ini tidak terealisasi dengan baik adalah ketika dana
ini di salurkan kepada pemerintah Provinsi sehingga kondisi di Kabupaten atau
Kota masih kurang memadahi. Dana otonomi khusus yang diberikan Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Provinsi ini sering kali tidak tepat sasaran. Dalam kajian
dana otonomi khusus ini Kabupaten maupun Kota hanya mendapatkan dalam bentuk
kegiatan. Kabupaten/Kota memang dapat mengusulkan kegiatan namun keputusan
proyek atau kegiatan mana yang akan di danai tetaplah keputusan dari Pemerintah
Provinsi. Dalam pandangan pemerintah di Kabupaten seharusnya dana otonomi
khusus ini ditransfer langsung kepada rekening Pemerintah Kabupaten agar dapat
dikelola langsung oleh mereka demi untuk mensejahterakan keadaan di Kabupaten.
Namun pada realitanya Pemerintah Provinsi berpendapat bahwa dana otonomi khusus
sudah seharusnya dikelola oleh pemerintah provinsi karena beberapa alas an
yakni pertama, otonomi khusus bagi
Aceh berada di Provinsi bukan di pemerintah kabupaten kota. Kedua, bahwa otonomi di Aceh terletak di
level provinsi maka dari itu sudah seharusnya jika pemerintah provinsi yang
harus mempertanggungjawabkan penggunaan dana otonomi khusus.
Selain
itu kesenjangan yang terjadi antara pemerintah Provinsi dengan pemerintah
Kabupaten/Kota juga disebabkan karena persepsi Pemerintah Provinsi mengenai
Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi
Hasil Minyak Gas dan Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, di dalam pasal 8
Qanun ini menyebutkan bahwa “ Dana Otonomi Khusus bersumber dari APBN dan
merupakan penerimaan Pemerintah Aceh”. Maka dari itu pemerintah Aceh menganggap
bahwa dana otonomi khusus ini hanyalah penerimaan yang dimiliki oleh Pemerintah
Aceh saja, tentu ini bertentangan dengan
pasal 179 ayat (2) UUPA, dimana ayat (2) dengan tegas menyebutkan sumber
pendapatan daeerah baik di pemerintahan Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota
salah satunya adalah dana otonomi khusus, dengan demikian dapat dikatakan,
seyogyanya kedua-duanya memiliki hak dalam pengelolaan dan penggunaan dana
otonomi khusus.
Seperti
juga yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2015 tentang
Penyaluran Belanja Bantuan Keuangan Bagian Dana Otonomi Khusus Aceh Kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi Aceh Tahun Anggaran 2015 pasal 1 yang
berbunyi “Penyaluran belanja bantuan keuangan Pemerintah Aceh kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota se Provinsi Aceh merupakan bagian dana otonomi khusus Aceh
kepada Kabupaten/Kota tahun anggaran 2015”.
Maka dari
itu kesalahan persepsi yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi inilah yang
membuat pemerintah provinsi merasa bahwa dana otonomi khusus adalah hak dari
pemerintah provinsi dan harus dikelola oleh pemerintah provinsi akibat persepsi
seperti inilah pengalokasian dana otonomi khusus tidak tersalur dengan baik dan
bahkan menimbulkan angka korupsi pada Aceh. Pihak Inspektorat provinsi Aceh
juga merasa bahwa pengalokasian dana otonomi khusus sejak tahun 2008-2010
mengalami banyak kendala dan tidak tepat sasaran. Lalu apa yang membuat Pihak
Inspektorat kesulitan dalam mengatasi hal ini? Permasalahn yang dihadapi pihak
inspektorat ini adalah sukarnya melakukan pengawasan secara khusus karena dana
otonomi khusus juga telah bercampur dengan dana-dana yang lain.
Apa yang
dapat kita rekomendasikan atas kegagalan perealisasian dana otonomi di Aceh
ini? Seharusnya pemerintah provinsi Aceh lebih mementingkan pembangunan
kesejahteraan masyarakat seperti pendidikan, perekonomian, dan infrastruktur
dari pada pembangunan kantor yang megah.
Seharusnya juga pemerintah pusat mentransfer juga dana otonomi khusus
langsung kepada Kabupaten/Kota mengingat bahwa perealisasian dari pemnerintah
Provinsi masihlah sangat buruk. Kesalahan persepsi dari pemerintah provinsi
juga seharusnya diperbaiki mungkin dengan sedikit merevisis eksistensi dari
Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tatacara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi
Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus agar dapat mempercepat
perwujudan kesejahteraan rakyat di Aceh. Untuk mengusut permasalahn dananya pun
seharusnya antara dana otonomi khusus dengan dana-dana yang lain dilakukan
pemisahan agar pihak inspektorat juga tidak kesulitan dalam pengawasannya.
Kesimpulan
Aceh
merupakan daerah yang ada di Indonesia yang termasuk dalam Otonomi Daerah dan
menjadi Daerah Istimewa atau Daerah Khusus sebagaimana telah tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukkan Daerah Otonomi Propinsi Atjeh dan
Perubahan Peraturan Pembentukkan Propinsi Sumatera Utara yang diundangkan pada
tanggal 7 Desember 1956, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (LN 2006 No. 62, TLN 4633) dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Sebagai salah satu daerah yang di
khususkan Aceh juga menerima dana dari pemerintah pusat atau juga dikenal
sebagai dana otonomi khusus dengan jangka waktu 20 tahun sejak tahun 2008 dan
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Untuk operasionalisasi pengelolaan dana otonomi khusus ini
diatur dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tatacara Pengelolaan Dana
Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahwa dana otonomi
khusus dan dana penyesuaian untuk Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dari
tahun 2008 sampai dengan 2010 sebesar Rp. 10,6 triliun namun dalam prakteknya
tidak semua dana otonomi khusus ini yang terserap dengan baik dan hanya sekitar
65% saja. Menurut penelusuran dari Badan Pemeriksa Keuangan bahwa adanya
penyimpangan terhadap pertanggungjawaban dan pengeolaan dana otonomi khusus
tersebut dimana bahwa dana ini digunakan secara menyimpang dan tidak sesuai
dengan ketentuan tujuan kebijakan otonomi khusus.
Selama
tiga tahun terakhir penggunaan dana otonomi khusus daerah aceh sebesar Rp. 3,5
triliun per tahun selalu bermasalah. Kemungkinan bahwa dana otonomi khusus ini
tidak terealisasi dengan baik adalah ketika dana ini di salurkan kepada
pemerintah Provinsi sehingga kondisi di Kabupaten atau Kota masih kurang
memadahi. Dana otonomi khusus yang diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Provinsi ini sering kali tidak tepat sasaran. Kesalahan persepsi dari
pemerintah provinsi ini dikarenakan pasal 8 Qanun ini menyebutkan bahwa “ Dana
Otonomi Khusus bersumber dari APBN dan merupakan penerimaan Pemerintah Aceh”.
Maka dari itu pemerintah Aceh menganggap bahwa dana otonomi khusus ini hanyalah
penerimaan yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh saja. Selain itu dana-dana
otonomi khusus ini sangat sulit untuk di awasi penggunaannya karena dana
otonomi khusus juga telah bercampur dengan dana-dana yang lain.
Maka dari
itu yang dapat dilakukan adalah seharusnya pemerintah pusat mentransfer juga
dana otonomi khusus langsung kepada Kabupaten/Kota mengingat bahwa
perealisasian dari pemnerintah Provinsi masihlah sangat buruk. Kesalahan
persepsi dari pemerintah provinsi juga seharusnya diperbaiki mungkin dengan
sedikit merevisis eksistensi dari Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Tatacara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana
Otonomi Khusus agar dapat mempercepat perwujudan kesejahteraan rakyat di Aceh.
Untuk mengusut permasalahn dananya pun seharusnya antara dana otonomi khusus
dengan dana-dana yang lain dilakukan pemisahan agar pihak inspektorat juga
tidak kesulitan dalam pengawasannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Yudoyono,
Bambang. 2001. Otonomi Daerah.
Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Salam,
Dharma Setyawan. 2004. Otonomi Daerah:
Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya. Jakarta. PT Penerbit
Djambatan.
Said.
Mas’ud M. 2005. Arah Baru Otonomi Daerah
di Indonesia. Malang. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang.
Suara
Pembaruan. 1995. Otonomi Daerah: Peluang
dan Tantangan. Jakarta, PT Sinar Agape Press.
Huda.
Ni’matul. 2014. Desentralisasi Asimetris
Dalam NKRI: Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan Otonomi Khusus.
Bandung. Nusa Media.
Alvionita,
Hesti. 2014. Pengaturan Otonomi Khusus Bagi Daerah Otonom Di Indonesia.
Bengkulu. (Skripsi)
Cahyono.
Heru. 2016. Evaluasi Atas Pelaksanaan
Otonomi Khusus Aceh: Gagal Menyejahterakan Rakyat dan Sarat Konflik Intenal. http://ejournal.lipi.go.id. Diunduh
pada tanggal 4 November 2016.
Dewan
Perwakilan Rakyat. 2016. Kajian Atas
Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua, Papua
Barat, dan Provinsi Aceh. http://www.dpr.go.id diunduh pada tanggal 3 November 2016.
World
Bank. 2011. Kajian Pengelolaan dan
Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh. http://belanjapublikaceh.org diunduh
pada tanggal 7 November 2016.
Peraturan
Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2005 Tentang Penyaluran Belanja Bantuan Keuangan
Bagian Dana Otonomi Khusus Aceh Kepada Pemerintah Kabupaten/Kota se Provinsi
Aceh Tahun Anggaran 2015.
Qanun
Acej Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi
Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar